Selasa, 02 Mei 2017

Model Etika Dalam Bisnis, Sumber-Sumber Dan Nilai Dalam Perilaku Etika, Faktor Yang Mempengaruhi Etika Manajerial

Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.
1.    Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
2.    Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
3.    Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
Sumber Nilai Etika
1.    Agama :
Pengertian agama menurut Anthony F.C . Wallace bahwa agama adalah sebagai perangkat upacara yang diberikan rasionalisasi melalui adanya mitos dan menggerakkan sebuah kekuatan supranatural dengan memiliki maksud agar dapat tercapainya perubahan kondisi pada alam semesta dan manusia.
2.    Filosofi :
Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Filsafat sendiri terbagi atas 4 cabang utama yang membuatnya lebih spesifik yaitu filsafat ilmu pengetahuan (epistemologi, filsafat moral (etika), filsafat seni (estetika), metafisika, filsafat pemerintahan (politik), filsafat agama, filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat matematika, filsafat sejarah, filsafat hukum (Jujun S. Suriasumantri, 2000).
3.    Budaya :
Berikut ini adalah pendapat para ahli mengenai budaya: (dalam Moeljono 2003:16)
  • Budaya adalah sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi organisasi masyarakat tertentu (Stonner).
  • Budaya adalah suatu pola semua susunan baik materi maupun perilaku yang sudah diadopsi masyarakat sebagai suatu cara tradisional dalam memecahkan   masalah- masalah para anggotanya. Budaya didalamnya juga termasuk cara yang telah diorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung suatu perintah (Kretch).
Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (2007:29-30) memberikan penjelasannya sebagai berikut :
  • ·       Wujud Ide : Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
·         Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
  • ·     Wujud perilaku : Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.
  • ·         Wujud Artefak : Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya : candi, bangunan, baju, kain komputer dll.
4.    Hukum :
Definisi hukum menurut Immanuel Kant
Sumber buku :
·          Pengarang : Wawan Muhwan Hairi
·         Judul buku :Pengantar Ilmu Hukum
·         Penerbit : Pustaka Setia
·         Tahun terbit :2012
·         Halaman : 22
Hukum adalah keseluruhan syarat berkehendak bebas dari orang yang satu untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, dengan mengikuti peraturan tentang kemerdekaan.
Menurut saya definisi hukum diatas tergolong dalam definisi hukum bersifat Non Dogmatis, karena pengertian hukum di atas tidak hanya memandang hukum sebagai aturan semata, tapi pengertian hukum di atas juga memandang hukum sebagai keseluruhan syarat untuk berkehendak bebas dan dapat menyesuaikan diri sehingga pendapat ini lebih mengacu kepada definisi hukum bersifat Non Dogmatis yang tidak bisa ditindaklanjuti, karena tidak adanya perintah dan larangan yang tegas dan memaksa beserta sanksinya karena di luar hukum positif tidak ada hukum. 
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Etika Manajerial
1.    Leadership :
Pada dasarnya definisi atau pengertian kepemimpinan ( leadership ) telah banyak dikemukakan para pakar atau akhli di bidang manajemen sumber daya manusia. Definisi atau pengertian kepemimpinan ( leadership ) banyak yang dikutip oleh Thoha (2006 : 5) dari berbagai pakar atau ahlii, antara lain sebagai berikut: 
·      Menurut Robert Dubin definisi atau pengertian kepemimpinan diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan, 
·     Menurut J.L. Hemphill:definisi atau pengertian kepemimpinan adalah suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencapai jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama, George R. Terry memberikan definisi atau pengertian kepemimpinan sebagai aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi. 
2.    Strategi :
Menurut Rangkuti (2001:13), “Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya”. Sedangkan menurut Kotler  (2000:91), strategi adalah “Suatu rencana permainan untuk mencapai sasaran yang dinginkan dari suatu unit bisnis”.
3.    Performasi :
Performance atau kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses (Nurlaila, 2010:71). Menurut pendekatan perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans, 2005:165).
4.    Karakter Individu :
Ratih Hurriyati, (2005:79) memberikan pengertian tentang karakteristik individu sebagai  berikut : “Karakteristik individu merupakan suatu proses psikologi yang mempengaruhi individu dalam memperoleh, mengkonsumsi serta menerima barang dan jasa serta pengalaman. Karakteristik individu merupakan faktor internal (interpersonal) yang menggerakan dan mempengaruhi perilaku individu”. Menurut Morrow menyatakan bahwa, komitmen organisasi dipengaruhi oleh karakter personal (individu) yang mencakup usia, masa kerja, pendidikan dan jenis kelamin (Prayitno, 2005)
5.    Budaya Organisasi :
Menurut Robbins, budaya organisasi cukup didefenisikan sebagai sebuah persepsi umum yang dipegang teguh oleh para anggota organisasi dan menjadi sebuah sistem yang memiliki kebersamaan pengertian (dalam 2005:531).
Robbins (2002:279) juga menjelaskan bahwa budaya organisasi menyangkut bagaimana para anggota melihat organisasi tersebut, bukan menyangkut apakah para anggota organisasi menyukainya atau tidak, karena para anggota menyerap budaya organisasi berdasarkan dari apa yang mereka lihat atau dengar di dalam organisasi. Dan  anggota  organisasi  cenderung  mempersepsikan  sama  tentang  budaya   dalam organisasi tersebut meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda ataupun bekerja pada tingkat-tingkat keahlian yang berlainan dalam organisasi tersebut.
Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.

Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.

Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
  • ·        Pengaruh umum dari luar yang luas, mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
  • ·     Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat, keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
  • ·     Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi, organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
Sumber :
http://id.shvoong.com/business-management/management/2182546-definisi-atau-pengertian-kepemimpinan-leadership/#ixzz1d7cUQJYs


Nama: Desy Rahmawati

Kelas : 3EA38

NPM : 12214803

Tidak ada komentar:

Posting Komentar